BERITA


KETIKA GURU HARUS MENJELMA MENJADI BIDAN


Bidan adalah seorang professional yang membantu persalinan. Bidan juga bisa melahirkan, karena bidan itu perempuan. Filosof Yunani Antik Sokrates adalah anak seorang bidan. Jadi, bidan bisa melahirkan filosof besar juga. Sokrates (470/469 – 399 sM), entah memang pernah ada orang dengan nama dan jenis ini atau sebagai tokoh rekaan Platon (428/427 atau 424/423– 348/347 sM), telah menyihir dunia dengan semangat bertanya dan berfilsafatnya. Dia bangun pagi-pagi bergerak ke pasar dan jalanan untuk berdialog dengan semua orang, terutama anak-anak muda.

Bagi Sokrates, bertanya adalah seni untuk melahirkan kebenaran. Setiap anak manusia sudah mengandung kebenaran dalam dirinya. Keasyikan, cara, dan metode bertanya dan melahirkan kebenaran ala Sokrates disebut metode kebidanan (maieutika tekhne). Jadi, dalam filsafat, laki-laki bisa menjadi bidan. Apakah kebenaran, minimal ide-ide tentang kebenaran, dilahirkan layaknya orok bayi? Dalam proses belajar, terutama berpikir dan menulis, kita seperti mengalami hamil ide dan melahirkan konsep dan teori. Pada awalnya, kita memiliki ide dasarlalu kita belajar ide seorang ahli dan membenturkannya dengan realitas di sekitar kita: jadilah konsep baru.

Dari cerita dan tradisi berpikir Yunani kuno itu, kita bisa mengambil suatu nilai untuk dunia pendidikan kita. Kemampuan seorang guru dan pengajar untuk membantu kelahiran ide-ide besar dan kebenaran murid adalah pekerjaan rumah yang tidak gampang bagi para guru di Flores dan Lembata. Sebab, kebanyakan anak didik di dalam kelas adalah generasi yang dibungkam oleh tradisi paternalistik: bapak tidak pernah salah dan anak harus ikut kemauan orang tua. Lebih bahaya lagi, kalau guru kemudian melupakan tugasnya sebagai bidan dan memproklamirkan ‘teacher can do no wrong’.Jauh dari Yunani, di SMA San Dominggo Hokeng, sebuah lembaga pendidikan dengan tradisi belajar seperti sekolah-sekolah Eropa, ada seorang pendidik yang sangat saya kagumi. RP. Paulus Lamak SVD, seorang imam biarawan SVD. Sejauh pengamalan saya dan cerita para muridnya, dia seorang guru yang baik, benar dan indah dalam pengajaran.

Suatu ketika, dalam kuliah Sejarah Filsafat Yunani Antik di STFK Ledalero, saya dan seorang teman alumnus San Dominggo  pernah sepakat bahwa guru di Sesado yang paling dekat dengan metode kebidanan adalah Pater Paul. Namun, hal itu tidak bertahan lama. Pada semester selanjutnya ketika kuliah Sejarah Filsafat Modern, saya malah lebih suka melihat Pater Paul Budi seperti Ludwig Wittgenstein (1889-1951) yang berturut-turut hidup sebagai insinyur, guru besar, pertapa, guru sekolah dasar dan sekolah menengah, tukang kebun, dan guru besar. 

Saya sendiri seorang pengagum Pater Boli. Pertemuan kami yang pertama tentu di Sesado pada 2000. Saya sebagai murid kelas persiapan dan Pater Boli sebagai seorang guru bahasa Jerman yang hebat dan humoris. Kesan pertama, orangnya ‘angker’ dan rajin membaca. Ini tentu menciutkan mental saya sebagai seorang anak kampung yang tidak pernah belajar bahasa Jerman dan malas membaca buku. Sejak saat itu, kami intens membuka pembicaraan, diskusi, dialog, dan kalau boleh agak percaya diri ya berdebat dengan Tuan Boli. Beliau meladeni kami sebagai seorang guru dan sahabat (magister et socius). Hingga ketika saya dan beberapa teman menjadi pemimpin dan wakil pemimpin redaksi majalah bulanan Kuncup Sesado, saya bertanggung jawab menulis tajuk. Saya ditugaskan mengisi rubrik “BOX” di halaman belakang. Beberapa judul tulisan saya masih terbayang: “To eradicate the poverty in Larantuka Diocese” tentang gerakan apologetik gereja mengatasi realitas kemiskinan.

Nostalgia tentang Sesado Hokeng tentu tidak akan pernah habis. Suatu lembaga pendidikan yang disebut oleh cendekiawan Daniel Dhakidae sebagai “Leipzig” menyusul kota pelajar dan kebudayaan di Eropa. Namun, sebuah nilai yang pasti, karena juga tulisan ini harus dibatasi ruangnya, bahwa kita sedang membutuhkan seorang guru yang seorang ‘bidan’ saat ini: motivator untuk belajar dan inisiator untuk kelahiran kebenaran. Ketika dunia pendidikan seolah-olah memuja-muji anak-anak yang bisa menghafal ratusan lembar teks dan jago bermatematika, kita juga membutuhkan seorang guru yang bisa memompa semangat percaya diri. Seorang guru yang mau berdiskusi, berdialog dan berdebat untuk sebuah kebenaran. Seorang guru yang meyakinkan muridnya menemukan bakat unggulan dalam bahasa, sastra dan kebudayaan. Seorang guru yang tegas menasehati, “menulis adalah buah dari keranjingan membaca” 

Terlahir sebagai seorang anak Bakan Lembata, Tuan Boli pasti akrab dengan dunia tukang kebun dan peternak domba. Terpilih menjadi imam mengakrabinya dengan doa, meditasi, dan bertapa. Diutus menjadi guru para seminaris, sang pastor tahu bahwa ‘anak-anak domba’ harus dibekali dengan doa dan pendidikan . Dengan pertanyaan dan permainan bahasa untuk bersaksi pada kehidupan yang senyata-nyatanya. Ini persis gabungan serta melampaui Sokrates dan Wittgenstein. Karena, “filsafat berguna sebagai tangga. Sesudahnya pendakiannya, tangga harus dibuang,” tulis Wittgenstein dalam Tractatus Logico Philosophicus, 6.45). Tulisan ini juga harus segera diabaikan, karena yang paling penting adalah belajar dari sang pastor dan guru. (Viantolok)

 

KALENDER


Oktober 2025

Mg Sn Sl Rb Km Jm Sb
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18
19 20 21 22 23 24 25
26 27 28 29 30 31

MEDIA SOSIAL