Opini Kritis: Mengurai Disparitas Jaminan Hukum bagi Sang Pendidik Bangsa
Di antara pilar-pilar penting penegak kedaulatan bangsa—mulai dari penegak hukum, tenaga kesehatan, hingga profesional berketerampilan tinggi—profesi Guru memegang peran yang paling fundamental dan esensial. Namun, ironisnya, jaminan perlindungan hukum atas tindakan profesional Guru di Indonesia berada dalam kondisi yang paling rapuh dan rentan, sebuah ketimpangan yang nyaris tak terbayangkan dibandingkan dengan profesi lain seperti Advokat dan Dokter/Tenaga Kesehatan. Ketidakseimbangan ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan sebuah kegagalan struktural yang mengancam keberlanjutan profesionalisme dan keberanian pendidik di ruang kelas.
Keterancaman profesi Guru paling nyata terlihat dalam ranah tindakan pendisiplinan. Jika Advokat dilindungi oleh perisai Hak Imunitas Fungsional yang tercantum dalam undang-undang, menjamin kekebalan dari tuntutan (pidana atau perdata) selama bertindak dengan "itikad baik"
Jantung dari masalah ketidakadilan ini terletak pada ketiadaan mekanisme penyaringan profesional wajib atau mandatory gatekeeping yang berlaku pada profesi lain, seperti Dokter atau Pilot yang memiliki mekanisme sidang etik profesional. Dalam sektor kesehatan, Undang-Undang telah menetapkan bahwa dugaan kelalaian profesional harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
Sayangnya, mekanisme yang tersedia bagi Guru, yaitu Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI), tidak memiliki kekuatan hukum yang setara. DKGI, sebagai perangkat otonom PGRI, memang memiliki tugas dan wewenang untuk menegakkan Kode Etik Profesi, melakukan pembuktian, dan memberikan rekomendasi sanksi. Namun, tidak ada kewajiban hukum yang memaksa aparat penegak hukum untuk merujuk sengketa profesional Guru ke DKGI terlebih dahulu sebelum proses pidana dimulai. Ini berarti DKGI tidak berfungsi sebagai gatekeeper yang efektif. Akibatnya, sengketa terhadap Guru dapat melompati seluruh mekanisme penyelesaian etik profesional dan langsung diangkat ke ranah pidana oleh kepolisian. Kelemahan institusional ini menyebabkan Guru menjadi profesi yang paling rentan terhadap penuntutan, di mana tindakannya sangat mudah berbenturan dengan superioritas hukum pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Dampak dari ketiadaan penanganan etik internal yang wajib ini sangatlah serius. Ketika seorang Guru tahu bahwa tindakan disiplinernya, seproporsional apa pun, dapat secara langsung berakhir di kantor polisi dan persidangan, hal itu menciptakan iklim rasa takut dan self-censorship.
Untuk mengangkat isu krusial ini ke tingkat kebijakan nasional, diperlukan langkah strategis dan reformasi hukum yang mendesak. Pertama, Pemerintah dan Legislatif harus merevisi Undang-Undang Guru dan Dosen serta peraturan turunannya untuk secara eksplisit memberikan Mandatory Gatekeeping Power kepada DKGI. Keputusan DKGI, layaknya MDP di sektor kesehatan, harus menjadi prasyarat hukum yang harus dipertimbangkan oleh aparat penegak hukum sebelum melanjutkan proses pidana terhadap Guru atas dugaan kelalaian profesional. Kedua, model Mediasi Wajib yang diadopsi oleh UU Kesehatan harus segera diimplementasikan dalam semua sengketa profesional Guru.
Jaminan perlindungan yang adil dan komprehensif bukan hanya tentang melindungi Guru secara individu, tetapi merupakan prasyarat mutlak untuk memastikan keberlanjutan profesionalisme dan kesejahteraan mereka. Tanpa adanya jaminan ini, Guru akan terus berjuang di bawah bayang-bayang kriminalisasi, mengorbankan kualitas pendidikan nasional demi keamanan pribadi. Inilah saatnya negara menghadirkan Perlindungan Fungsional yang setara, menggeser fokus dari perlindungan fisik reaktif (sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017
SMP KATHOLIK ST. PIUS X LEWOLEBA