NEWS UPDATE :  

BERITA

Opini Kritis: Mengurai Disparitas Jaminan Hukum bagi Sang Pendidik Bangsa

Di antara pilar-pilar penting penegak kedaulatan bangsa—mulai dari penegak hukum, tenaga kesehatan, hingga profesional berketerampilan tinggi—profesi Guru memegang peran yang paling fundamental dan esensial. Namun, ironisnya, jaminan perlindungan hukum atas tindakan profesional Guru di Indonesia berada dalam kondisi yang paling rapuh dan rentan, sebuah ketimpangan yang nyaris tak terbayangkan dibandingkan dengan profesi lain seperti Advokat dan Dokter/Tenaga Kesehatan. Ketidakseimbangan ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan sebuah kegagalan struktural yang mengancam keberlanjutan profesionalisme dan keberanian pendidik di ruang kelas.

Keterancaman profesi Guru paling nyata terlihat dalam ranah tindakan pendisiplinan. Jika Advokat dilindungi oleh perisai Hak Imunitas Fungsional yang tercantum dalam undang-undang, menjamin kekebalan dari tuntutan (pidana atau perdata) selama bertindak dengan "itikad baik" , dan jika Dokter dijamin perlindungan bersyarat sepanjang menjalankan tugas sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO) , Guru hanya dilindungi oleh jaminan normatif yang bersifat reaktif dan seringkali tidak berdaya. Dalam banyak kasus, upaya pendisiplinan yang sah, yang merupakan bagian integral dari tugas mendidik, langsung diinterpretasikan sebagai tindak pidana murni, terbentur oleh superioritas Undang-Undang Perlindungan Anak. Kasus seorang guru PAI di Sumbawa Barat yang menghadapi proses hukum dan dituntut Rp50 juta karena mendisiplinkan siswa agar melaksanakan salat adalah contoh pedih yang menunjukkan betapa rentannya seorang pendidik terhadap kriminalisasi instan oleh orang tua atau aparat penegak hukum.

Jantung dari masalah ketidakadilan ini terletak pada ketiadaan mekanisme penyaringan profesional wajib atau mandatory gatekeeping yang berlaku pada profesi lain, seperti Dokter atau Pilot yang memiliki mekanisme sidang etik profesional. Dalam sektor kesehatan, Undang-Undang telah menetapkan bahwa dugaan kelalaian profesional harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Lebih lanjut, kasus tersebut akan disaring dan dinilai secara profesional oleh Majelis Disiplin Profesi (MDP), yang menggantikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Lembaga ini bertindak sebagai filter yang memisahkan kesalahan etik atau disiplin dari tindak pidana murni. Mekanisme prasyarat ini memastikan bahwa tenaga kesehatan tidak serta merta diproses pidana tanpa landasan evaluasi profesional yang memadai. 

Sayangnya, mekanisme yang tersedia bagi Guru, yaitu Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI), tidak memiliki kekuatan hukum yang setara. DKGI, sebagai perangkat otonom PGRI, memang memiliki tugas dan wewenang untuk menegakkan Kode Etik Profesi, melakukan pembuktian, dan memberikan rekomendasi sanksi. Namun, tidak ada kewajiban hukum yang memaksa aparat penegak hukum untuk merujuk sengketa profesional Guru ke DKGI terlebih dahulu sebelum proses pidana dimulai. Ini berarti DKGI tidak berfungsi sebagai gatekeeper yang efektif. Akibatnya, sengketa terhadap Guru dapat melompati seluruh mekanisme penyelesaian etik profesional dan langsung diangkat ke ranah pidana oleh kepolisian. Kelemahan institusional ini menyebabkan Guru menjadi profesi yang paling rentan terhadap penuntutan, di mana tindakannya sangat mudah berbenturan dengan superioritas hukum pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

Dampak dari ketiadaan penanganan etik internal yang wajib ini sangatlah serius. Ketika seorang Guru tahu bahwa tindakan disiplinernya, seproporsional apa pun, dapat secara langsung berakhir di kantor polisi dan persidangan, hal itu menciptakan iklim rasa takut dan self-censorship. Para pendidik dipaksa untuk memilih antara menjalankan tugas pendisiplinan yang penting demi karakter siswa, atau melindungi diri mereka sendiri dari risiko tuntutan hukum. Hal ini secara fundamental mengganggu otoritas dan tugas utama Guru, merusak proses pendidikan yang seimbang, dan pada akhirnya, menggagalkan cita-cita Nawacita untuk menghadirkan negara yang memberi rasa aman kepada seluruh warganya, termasuk pendidik. Meskipun terdapat yurisprudensi Mahkamah Agung (MA), seperti Putusan No. 1554 K/PID/2013, yang menegaskan bahwa guru tidak dapat dipidana saat mendisiplinkan siswa , putusan ini bersifat reaktif dan tidak selalu diindahkan oleh aparat penegak hukum di tingkat daerah, sehingga perlindungan Guru menjadi rapuh (precarious). 

Untuk mengangkat isu krusial ini ke tingkat kebijakan nasional, diperlukan langkah strategis dan reformasi hukum yang mendesak. Pertama, Pemerintah dan Legislatif harus merevisi Undang-Undang Guru dan Dosen serta peraturan turunannya untuk secara eksplisit memberikan Mandatory Gatekeeping Power kepada DKGI. Keputusan DKGI, layaknya MDP di sektor kesehatan, harus menjadi prasyarat hukum yang harus dipertimbangkan oleh aparat penegak hukum sebelum melanjutkan proses pidana terhadap Guru atas dugaan kelalaian profesional. Kedua, model Mediasi Wajib yang diadopsi oleh UU Kesehatan harus segera diimplementasikan dalam semua sengketa profesional Guru. Mewajibkan penyelesaian konflik melalui jalur musyawarah profesional, yang dapat difasilitasi oleh Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI , terlebih dahulu akan secara drastis mengurangi jumlah kasus yang prematur masuk ke ranah pidana. Terakhir, perlindungan harus diperkuat secara normatif melalui Kodifikasi Yurisprudensi Mahkamah Agung. Esensi dari yurisprudensi ini harus diangkat dan dikodifikasi secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (seperti Peraturan Pemerintah), guna memastikan penafsiran yang seragam di seluruh aparat penegak hukum di daerah.  

Jaminan perlindungan yang adil dan komprehensif bukan hanya tentang melindungi Guru secara individu, tetapi merupakan prasyarat mutlak untuk memastikan keberlanjutan profesionalisme dan kesejahteraan mereka. Tanpa adanya jaminan ini, Guru akan terus berjuang di bawah bayang-bayang kriminalisasi, mengorbankan kualitas pendidikan nasional demi keamanan pribadi. Inilah saatnya negara menghadirkan Perlindungan Fungsional yang setara, menggeser fokus dari perlindungan fisik reaktif (sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 ) menjadi perlindungan prosedural yang terstruktur dan substantif, sehingga Guru dapat kembali fokus pada tugas suci mereka: mendidik generasi penerus bangsa tanpa rasa takut (JunPio). 

Share to :
Kirim Pesan
KALENDER AKADEMIK

Desember 2025

Mg Sn Sl Rb Km Jm Sb
7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17 19
21
MEDIA SOSIAL